Jumat, April 06, 2018

Museum Benteng Vredeburg Yogjakarta

Bangunan Museum Benteng Vredeburg
Terletak di Jalan Jenderal A. Yani (Margo Mulyo) No. 6, Yogyakarta depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Dibangun untuk pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda pada masa pendudukan. Berbentuk persegi dikelilingi parit dengan menara pantau (bastion) di keempat sudutnya, di dalamnya terdiri dari bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen, pada masanya tempat ini ditempati ± 500 orang terdiri dari prajurit, petugas medis dan paramedis. Sebelum dibangun Benteng Vredeburg dilokasi ini, Sultan HB I telah lebih dulu membangun benteng sederhana berbentuk bujur sangkar dari tembok berbahan dasar tanah diperkuat dengan tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren dan bangunan di dalamnya terbuat dari bambu, kayu dan atap dari ilalang. Pada keempat sudutnya terdapat seleka atau bastion yang diberi nama oleh sultan. Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).

 Denah Museum Benteng Vredeburg
Sejarah berdirinya Benteng Vredeburg bermula pada tahun 1760 atas usulan Belanda kepada sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton yang lokasinya menghadap ke jalan utama menuju kraton. Permohonan ini dikabulkan Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). Kemudian pada tahun 1765, W.H.Ossenberch mengusulkan agar benteng diperkuat kembali menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan dan pengerjaan diawasi oleh ahli ilmu bangunan Belanda bernama Ir. Frans Haak. Pada tahun 1767 dilaksanakan penyempurnaan benteng sebagai pertahanan dan proses pengerjaan selesai tahun 1787. Setelah selesai kemudian diberi nama Rustenburg yang berarti 'Benteng Peristirahatan'.
Museum Benteng Vredeburg tempo dulu 
Tahun 1799 Belanda (VOC) mengalami kebangkrutan, benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg dan dikelola oleh Koninkrijk Holland (Kerajaan Belanda). Memasuki masa kekuasaan Inggris tahun 1811 – 1816, benteng dikuasai oleh Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, namun hanya sebentar dan kembali dikuasai Belanda. Tahun 1867 Yogyakarta dilanda gempa bumi besar, beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan lainnya mengalami kerusakan. Perbaikan segera dilaksanakan tidak lama setelah bencana. Setelah selesai masa perbaikan benteng berganti nama dari Rustenburg menjadi Vredeburg yang berarti 'Benteng Perdamaian'. Nama ini sebagai gambaran hubungan Kasultanan Yogyakarta dengan Belanda waktu itu. 
Benda peninggalan koleksi Museum Benteng Vredeburg
Pada tahun 1942 Jepang berkuasa, benteng dikuasai oleh Tentara Jepang dengan perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat antara pihak Jepang dan Belanda. Pada Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Kekuatan tentara Jepang ditempatkan di Kotabaru dan berpusat di Benteng Vredeburg, Benteng Vredeburg dijadikan markas Kempeitei. Pada masa ini benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda, Indo Belanda maupun politisi Indonesia yang ditangkap. Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg dari tahun 1942 - 1945.
Koleksi Museum Benteng Vredeburg
Masa selanjutnya Benteng Vredeburg dikuasai oleh Republik Indonesia (RI) dalam penguasaan instansi militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” di bawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Pada tahun 1946 di dalam komplek benteng didirikan rumah sakit tentara untuk melayani korban pertempuran dan keluarga tentara. Pada tahun 1946 kondisi politik Indonesia memanas saat terjadi perbedaan persepsi arti revolusi sampai akhirnya terjadi "peristiwa 3 Juli 1946", yaitu percobaan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap dan menjadi tahanan politik. 

Koleksi Museum Benteng Vredeburg
Masa Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, benteng menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berada di dalam hancur terkarena serangan. Bentengpun dikuasai tentara Belanda dan dipergunakan sebagai markas tentara yang tergabung dalam IVG (Informatie voor Geheimen) dinas rahasia tentara Belanda, asrama tentara Belanda dan penyimpanan senjata berat (tank, panser dan kendaraan militer lainnya). Pada tahun berikutnya, 1 Maret 1949 benteng menjadi salah satu sasaran serangan Tentara Republik Indonesia. Tentara Republik Indonesia beserta rakyat pejuang yang sedang berupaya menunjukkan eksistensinya kepada dunia internasional masa itu akhirnya selama ± 6 jam dapat menguasai Yogyakarta sampai bantuan tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta.
  Fasilitas visual Museum Benteng Vredeburg
Masa berikutnya Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) dan dikelola oleh Militer Akademi Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara pada saat itu berencana menjadikan benteng sebagai pusat kebudayaan, tetapi gagasan itu terhenti oleh peristiwa pemberontakan G 30 S tahun 1965, lalu Benteng Vredeburg digunakan untuk tahanan politik. Pelestarian dimulai pada tahun 1976 dalam bentuk studi kelayakan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan selanjutnya dilakukan pemugaran. Tahun 1980 status pengelolaan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta dengan piagam perjanjian oleh Sri Sultan HB IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daoed Joesoef (pihak II) tanggal 9 Agustus 1980. Pada periode ini Benteng Vredeburg dipergunakan untuk pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI juga markas Garnisun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. 

Pada tahun 1981 ditetapkan menjadi cagar budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Selanjutnya tanggal 5 November 1984 Benteng Vredeburg dipersiapkan sebagai museum perjuangan nasional dibawah pengelolaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Piagam perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam kompleks benteng diizinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran benteng untuk dijadikan museum, pada tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum. Pengelolaannya terus disempurnakan oleh pemerintah melalui kementerian yang membawahinya sampai saat ini guna melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia wilayah Yogyakarta.

Museum Benteng Vredeburg menyuguhkan berbagai koleksi yang dimilikinya berupa bangunan, realia, benda visual, diorama. Fasilitas yang dimiliki antara lain ruang pengenalan, media interaktif dan ruang audiovisual untuk pemutaran film rerjuangan. Koleksi bangunan berupa parit yang mengelilingi benteng untuk pertahanan dan sarana drainase.  Jembatan, pada masanya berupa jembatan angkat (gantung) kemudian diganti dengan jembatan paten. Tembok benteng yang mengelilingi kompleks, berfungsi sebagai tempat pertahanan, pengintaian, penempatan meriam-meriam kecil maupun senjata tangan. Pintu gerbang, sarana keluar masuk benteng. Pintu gerbang berjumlah tiga buah yaitu di sebelah barat, timur, dan selatan. Bangunan-bangunan di dalam benteng (di bagian tengah) berfungsi sebagai barak prajurit dan perwira, yang kemudian pada perkembangan selanjutnya difungsikan sebagai tangsi militer. Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949.

Koleksi Realia, merupakan koleksi yang berupa benda (material) yang benar-benar nyata bukan tiruan dan berperan langsung dalam suatu proses terjadinya peristiwa sejarah. Antara lain berupa peralatan rumah tangga, senjata, naskah, pakaian, peralatan dapur, dan lainnya. Koleksi foto, miniatur, replika, lukisan, dan atau benda hasil visualisasi lainnya. Koleksi adegan peristiwa sejarah dalam bentuk diorama terdiri dari ruang diorama I menggambarkan peristiwa periode Perang Diponegoro - pendudukan Jepang di Yogyakarta (1825-1942), ruang diorama II, terdiri dari 19 buah diorama menggambarkan peristiwa Proklamasi - Agresi Militer Belanda I (1945-1947), ruang diorama III, terdiri dari 18 buah diorama menggambarkan peristiwa Perjanjian Renville - pengakuan kedaulatan RIS (1948-1949), ruang diorama IV, terdiri dari 7 buah diorama menggambarkan peristiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia - Masa Orde Baru (1950-1974). Ruang pengenalan, berfungsi sebagai studio mini berkapasitas ± 50 orang untuk memutar film-film dokumenter dengan durasi 10-15 menit. Media interaktif berupa media layar sentuh berisi informasi sejarah dan ruang audio visual untuk pemutaran film perjuangan.


Sumber :


Editor : Eds Jr.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah secara bijak dan bersifat positif juga memberikan perbaikan.

eds graphics & design

eds graphics & design
eds graphics & design advertise banner

EDs daily review